Oleh: Dian Saputra
Teringat sewindu lalu saat fajar tiba tepat pada lagu Indonesia Raya dilantunkan dengan hikmat serta secara perlahan merah putih berkibar mengejar matahari di langit pagi dan setiap orang yang melihat bernyanyi sambil menghormatkan tangan dengan bangga.
Momen itu untuk kesekian kali hadir kembali, tepat pada hari ini 17 Agustus 2021 menjadi saksi perjalanan bangsa Indonesia bahwa pada doeloe 17 Agustus 1945 kemerdekaan dipekikan oleh seorang proklamator Bung Karno, dengan mendeklarasikan teks proklamasi bahwa Indonesia resmi menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Nun, moment itu tak terasa sudah terbungkus 76 tahun lamanya. Hingar bingar perjuangan perlahan mulai jauh dari genggaman setiap generasi yang saat ini mulai terseok-seok dalam mengingat sejarah yang menjadi problem akut bagaimana meninjau kemerdekaan negara Indonesia kedepanya. Sebab bapak bangsa kita Soekarno sudah mengingatkan, jangan sekali-kali lupakan sejarah (Jas Merah)
Diumur penulis yang saat ini masuk duapuluhan tahun ini, memahami momentum hari merdeka bukan sekedar berlaga digelanggan antar desa untuk memperebutkan bendera yang berada diatas pinang dengan dilumuri berbagai cairan licin. Atau bahkan berlari diatas keterbatasan lingkaran karung, dengan melompat berupaya mencapai garis finish dahulu.
Paragdima momentum kemerdekaan seperti itu perhalan buyar dari panggung pemikiran penulis. Serta transit dengan pemikiran baru sesuai dengan pahatan ilmu yang telah dienyam.
Lalu bagaimana penulis memahami momentum kemerdekaan secara sederhana ini?.
Pahatan tulisan ini akan mengambil pelajaran kemerdekaan dari dua tokoh besar bangsa Indonesia, pertama dari presiden pertama Republik Indonesia Soekarno, selanjutnya bapak pencetus Republik Tan Malaka.
Pelajaran apa yang dapat kita ambil?
Ketangguhan Soekarno merawat
Indonesia yang baru lahir dengan menjadi presiden bukan perihal yang mudah. Selain menahan gejolak dari luar negara, disatu sisi harus meredamkan pertikaian serta mencerdaskan Negara.
Kekuatan ini hadir dari konsep kemerdekaan berpikir yang dimiliki oleh bung Karno. Sosok beliau hadir untuk menjadi figur yang siap berpikir untuk menghidupkan kapal bangsa Indonesia berlayar menuju gerbang kemerdekaan.
Tidak gentar dari berbagai hempasan serta tekanan bangsa lain, hingga kalimat “Inggris kita linggis, Amerika kita setrika” Menjadi alat propaganda untuk meyakinkan bangsa Indonesia bisa sejajar dengan bangsa lain dari segi pemikiran.
Kemerdekaan pemikiran itu kian terwujud dari lahirnya sebuah kekuatan ideologi Marhaenisme yang dicetuskan bung Karno. Keadaan ideologi ini lahir dari rahim pemikiran Marxisme namun lebih disesuaikan dengan kondisi bangsa Indonesia (kita tidak akan membedah konsep ideologi itu).
namun yang lebih asiknya kita mengambil pelajaran dari lahirnya ideologi itu bahwa kita harus menjadi bangsa yang merdeka dari segi pemikiran.
Apakah harus menciptakan ideologi?
Tidak, bahkan secara ideologi bangsa kita sudah memiliki pancasila, namun kemerdekaan berpikir itu kita wujudkan secara dengan menciptakan berbagai inovasi serta ide-ide yang setiap actionya dapat bermanfaat bagi bangsa sendiri, terutama di masa pandemi ini.
Hal ini bisa kita wujudkan dari mulai memahami berbagai permasalahan lingkungan sekitar, yang kita wujudkan dalam bentuk kemerdekaan berpikir untuk menyelesaikan permasalahan itu, dan berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat.
Lalu selanjutnya apa yang dapat kita ambil pelajaran dari sosok Tan Malaka sebagai bapak republik bangsa kita?
Tidak telalu jauh dari bung Karno, Tan Malaka sendiri menginginkan dalam berbagai literaturnya untuk kita menjadi bangsa yang merdeka 100℅. Konsep ini merancang bangsa kita untuk mandiri secara mental, budaya, pertahan, ekonomi, yang tidak tergantung pada bangsa lain.
Penulis sendiri memahami bahwa ini adalah titik klimaks dari kemerdekaan yang ideal untuk dicapai oleh bangsa Indonesia.
Perwujudan secara sederhana bisa kita rangkai melalui jalur kecil. Diantaranya secara mental kita sebagai semua generasi mulai berani belajar lebih keras. Menjadi mental pembelajar yang baik, dengan demikian paradigma Tan Malaka dan bung Karno secara simbiosis terwujudkan
Serta yang lebih pening sebagai bangsa yang besar serta kita tidak terlalu mapan dari gempuran mental bangsa lain melalui berbagai propaganda serta perang pemikiran, termasuk propaganda westernisasi yang kian menyurutkan jati diri bangsa kita.
Pun keberbagai sektor, kehingar bingaran kehidupan bangsa lain yang mempengaruhi gaya hidup pun secara perhalan harus berani kita geser kearah kearifan lokal. Mulai dari gaya berbelanja, yang kita mulai dari gerakan membeli usaha kecil masyarakat.
Apabila gerakan kecil itu dilakukan secara besar, Maka akan menumbuhkan kekuatan/kekebalan kelompok bangsa kita secara ekonomi. Maka sedikit banyaknya sebagai masyarakat biasa sudah bergerak mewujudkan konsep merdeka 100% yang di kumandangkan Tan Malaka.
Maka diakhir narasi ini, agaknya kita lebih memahami kemerdekaan secara lebih mendalam, bukan hanya sekedar bunga-bunga ceremonial yang kita rayakan. Kedua tokoh perjuangan diatas hanya sebagai contoh dari sekian banyaknya tokoh pahlawan bangsa kita untuk memahami bagaimana capaian ideal yang mereka harapkan dari kemerdekaan bangsa Indonesia.
Dipagi cerah ini penulis hadir menyambut momentum emas bangsa Indonesia. Serta secara perlahan bibir ingin meneriakan Dirgahayu Republik Indonesia. Dan tulisan sederhana ini menjadi hadiah sederhana yang bisa diberikan penulis untuk hari ulang tahun bangsaku.
Sekali merdeka tetap merdeka, semoga menjadi bangsa yang besar dan lebih peka terhadap suara jeritan rakyat.
Merdeka!
Merdeka!
Merdeka!
_
Penulis adalah Mahasiswa Universitas Teuku Umar.
Isi tulisan ini sepenuhnya milik dan tanggungjawab penulis
Discussion about this post