• Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Periklanan
  • Hak Jawab
  • Disclaimer
Sabtu, Mei 21, 2022
BisaApa.id
  • Login
  • Register
  • BERANDA
  • Berita
    • Hukum & Kriminal
    • Peristiwa
    • Internasional
  • Politik
  • Pemerintahan
  • Inforial
  • Olahraga
  • Tinta Publik
  • Foliopini
  • Lainnya
    • Islami
    • Ekonomi
    • Budaya
    • Histori
    • Sosial
    • Sosok
No Result
View All Result
  • BERANDA
  • Berita
    • Hukum & Kriminal
    • Peristiwa
    • Internasional
  • Politik
  • Pemerintahan
  • Inforial
  • Olahraga
  • Tinta Publik
  • Foliopini
  • Lainnya
    • Islami
    • Ekonomi
    • Budaya
    • Histori
    • Sosial
    • Sosok
No Result
View All Result
BisaApa.id
No Result
View All Result
Home Berita

Pemanfaatan Teknologi Untuk Menyelamatkan Populasi Badak

Zulkifli by Zulkifli
21 September 2021
0
Badak Sumatera

Dok. Humas SRS TNWK Lampung.

Share on FacebookShare on TwitterBagikan

Banda Aceh, BisaApa.id | Menyambut Hari Badak Sedunia yang jatuh besok, Rabu, 22 September 2021, TFCA-Sumatera Yayasan KEHATI bekerja sama dengan Society of Indonesian Environmental Journalists menggelar acara Media Briefing Penerapan Teknologi Berbantu untuk Konservasi Badak Sumatera, melalui zoom meeting pada Selasa (21/9).

Dalam kesempatan itu, Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ir. Wiratno, M.Sc.,mengatakan, terdapat kerja-kerja yang terbuka dan kerja surveillance yang tertutup yang tidak perlu diketahui publik, dan akan diupayakan oleh Pemerintah untuk melindungi satwa nasional dari kepunahan.

“Pemerintah mempunyai harapan pada penjagaan penuh kawasan untuk melindungi populasi satwa, survei trajectory dan pemanfaatan teknologi.” katanya.

Selain itu, Direktur Program TFCA-Sumatera, Samedi, juga menyampaika, penerapan teknologi diperlukan untuk membantu menyelamatkan satwa yang terancam punah sebagai bagian dari upaya perlindungan satwa yang dilakukan secara maksimal.

Saat ini, populasi Badak Sumatra diperkirakan kurang dari 100 ekor yang terdapat di dua kantong yang ada di Aceh dan Lampung. Kawasan Leuser Aceh, merupakan kantong populasi yang masih viabel, artinya memungkinkan untuk keberlanjutan reproduksi spesies yang sehat.

Di Lampung, jumlah populasi maupun keragaman genetik sangat terbatas (terisolasi). Kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena kemampuan satwa bercula ini untuk bereproduksi sangat terbatas yang disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk faktor intrinsik pada badak itu sendiri, sehingga perlu bantuan teknologi.

“Jangan sampai pada peringatan kemerdekaan RI ke-100 dua puluh lima tahun yang akan datang kita terpaksa harus mengumumkan kepunahan badak”, ujar Samedi.

Lebih lanjut, Samedi menyampaikan, Hal ini bukan tidak mungkin karena kondisi badak Sumatera saat ini mirip dengan kondisi badak Sumatra di Malaysia 25 tahun yang lalu, dan dua tahun yang lalu badak sumatera di Malaysia sudah dinyatakan punah.

Tentunya Indonesia tidak ingin mengulangi sejarah Malaysia. Langkah-langkah preventif saat ini sudah diambil Pemerintah antara lain dengan membangun suaka badak sebagai zona perlindungan menyeluruh (full protection zone) seperti di Taman Nasional Gunung Leuser.

Kini sudah ada satu fasilitas pengembangbiakan Badak Sumatra (Sumatran Rhino Sanctuary) di Taman Nasional Way Kambas, yang dianggap cukup berhasil dalam mempertahankan dan menghasilkan anakan badak baru, walaupun dirasakan sangat lambat, yakni hanya menghasilkan dua anakan dalam waktu lebih 10 tahun.

“Saat ini, sedang dibangun fasilitas pengembangbiakan badak lainnya di kawasan Leuser Timur Aceh, yang dilaksanakan oleh konsorsium Badak Utara yang dipimpin oleh Forum Konservasi Leuser (FKL).” kata Samedi.

Menurutnya, Pendanaan proyek ini berasal dari program TFCA-Sumatera yang merupakan program di bawah perjanjian bilateral pengalihan utang untuk lingkungan antara Pemerintah Amerika Serikat dan Pemerintah Indonesia guna mendukung program konservasi di Indonesia khususnya spesies dan bentang alam penting di Sumatera.

Dedi Yansyah, selaku koordinator konsorsium Badak Utara menyampaikan bahwa saat ini proses pembangunan fasilitas pengembangbiakan badak (SRS) telah dimulai. Dimana proses studi kelayakan berikut kajian zoonosis telah dirampungkan sebelumnya.

Pemerintah Aceh, Wali Nanggroe Aceh, Pangdam dan Unsur Pemerintah Aceh Timur mendukung secara positif pelaksanaan proyek ini. Bupati Kabupaten Aceh Timur sendiri telah berkomitmen untuk mengalokasikan kawasan seluas 7.302 Ha di Alue Timur, Leuser untuk konservasi badak di Aceh.

“Hal yang menjadi kunci dalam konsep pembangunan SRS adalah pelibatan masyarakat”, ujar Dedi.

Diharapkan  masyarakat dapat ikut  terlibat untuk  mengelola dan menjaga kelestarian badak secara berkelanjutan.  Fasilitas ini diharapkan dapat rampung pada akhir Desember 2021.

Selaku salah satu pakar Teknologi Reproduksi Berbantu, Assisted Reproductive Technology (ART), Muhammad Agil, yang juga merupakan staf pengajar dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB University menyebutkan bahwa teknologi ini diperlukan untuk meningkatkan populasi satwa khususnya badak Sumatra.

Agil mengaminkan pendapat Samedi yang menyatakan bahwa bisa jadi kepunahan bukanlah akhir dari segalanya (extinction is not forever), karena teknologi ini memungkinkan untuk menyambung kesinambungan hidup populasi yang nyaris atau bahkan telah punah di alam, sepanjang kita masih punya stok plasma nutfah di dalam apa yang disebut bio-bank (cryo-preservation).

“Teknologi ini mulai diaplikasikan di Indonesia sejak 2019 yang juga merupakan pelaksanaan mandat dari dokumen Rencana Aksi Darurat Sumatra yang dikeluarkan oleh Pemerintah.” kata Muhammad Agil.

Menurutnya, selama ini badak Sumatera sulit berkembang di alam, karena populasi yang tersebar dalam kantong-kantong kecil bersifat non-viabel dan sangat terisolasi.   Jumlah yang sedikit dan kawasan habitat cukup luas menyebabkan badak di alam sulit untuk bertemu dan kawin (Allee effect).

“Di seluruh dunia keberhasilan pengembangbiakan di lingkungan ex situ (captive) tanpa bantuan teknologi (secara alami) sangat lambat dan baru menghasilkan 5 anak badak selama 40 tahun.” kata Agil.

Hal ini sangat mengkhawatirkan jika tidak dibantu dengan penggunaan teknologi reproduksi yang telah ada. “Selain itu, badak yang kita miliki juga mengalami masalah patologis dan penyakit (seperti adanya kista serta tumor pada rahim dan leher rahim badak betina, yang disebabkan oleh alee effect tadi).” tambahnya.

Untuk itu program darurat berupa pencarian dan penyelamatan (search and rescue) badak pada populasi yang terisolasi dan tidak viable perlu dilakukan, dimana badak-badak tersebut akan dipindahkan ke fasilitas pengembangbiakan seperti SRS.

Program ini harus mulai dilaksanakan sebelum badak di alam sama sekali musnah.  Di pusat seperti ini, program ART dapat diaplikasikan untuk mengumpulkan materi genetik dan memastikan keragaman genetiknya (heterozygositas) dan dapat dipastikan tidak akan terjadi perkawinan antar kerabat.

Pengumpulan bahan genetik dilakukan dalam bentuk stok semen beku, embrio dan induced-pluripotent stem cell sebagai cadangan untuk menghasilkan anak-anak badak baru.  Aktivitas seperti ini telah termaktub dalam peta jalan ART dan Bio-bank Badak Sumatra tahun 2021-2026 yang disusun oleh KLHK.

“Namun tentunya, faktor etika tetap harus diperhatikan.  Tidak serta merta  kekayaan hayati dapat dimanipulasi dengan mengumpulkan materi genetik lalu dikembangbiakkan hingga dapat menimbulkan ketidakseimbangan di alam.  Perlu dijaga keanekaragaman genetik agar dapat dipastikan keberlanjutan populasi badak yang sehat. ” pungkas Muhammad Agil.

Direktur KKH KLHK, Indra Eksploitasia, mengingatkan bahwa badak adalah aset negara yang harus kita jaga dan lestarikan bersama.  Ia menyebutkan, kebijakan yang diambil pemerintah dalam mengembangkan suaka dan ART adalah program pengembangbiakan di dalam lingkungan terkontrol yang terkoneksi dengan program konservasi in-situ.

“Konteksnya adalah  bila program pembiakan ini berhasil, anakan badak maupun satwa liar lainnya akan dikembalikan ke alam.” ujar Indra.

Lebih lanjut, Indra mengatakan bahwa, Pemerintah menyebutnya program “ex-situ linked to in-situ conservation” sehingga kita harus menjamin perlindungan terhadap habitatnya sehingga aman untuk badak pada saat dilepasliarkan kembali.

“Selamat hari badak Sedunia, 22 September 2021.  Semoga badak di alam tetap lestari.” tuturnya.

Tags: BadakBadak SumateraHari Badak DuniaPemanfaatan Teknologi
Next Post
Galang Dukungan Generasi Muda Aceh Untuk Selamatkan Badak Sumatera

Lembaga Konservasi Galang Dukungan Generasi Muda Aceh Untuk Selamatkan Badak Sumatera

Wakil Ketua Umum DPP PRIMA, Alif Kamal.

Giring Terlalu Munafik Jika Tak Berani Sebut Jokowi juga ‘Pembohong’

Wakil Presiden

Wapres Optimis Indonesia Jadi Pemain Utama Keuangan Syariah

Discussion about this post

KONTEN PROMOSI

Berita Terbaru

  • Warga Tolak Perpanjangan Izin HGU PT Bumi Flora
  • PRIMA SUMUT Siap Bertarung di Pemilu 2024
  • Tarmizi Yakub:”Praperadilan Itu Tidak Bermakna dan Sia-Sia”
  • Gubernur Aceh Akan ke Amerika, MaTA : Ini Pemborosan Anggaran
  • Diduga Lecehkan Anak Dibawah Umur, Pria Paruh Baya Ditangkap Polisi

Facebook


© 2020-2021 BisaApa.id - Oleh: PT. Bisa Apa Media.

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Periklanan
  • Hak Jawab
  • Disclaimer

Ikuti Media Sosial Kami

  • BERANDA
  • Berita
    • Hukum & Kriminal
    • Peristiwa
    • Internasional
  • Politik
  • Pemerintahan
  • Inforial
  • Olahraga
  • Tinta Publik
  • Foliopini
  • Lainnya
    • Islami
    • Ekonomi
    • Budaya
    • Histori
    • Sosial
    • Sosok
No Result
View All Result
  • Login
  • Sign Up

© 2020-2021 BisaApa.id - Oleh: PT. Bisa Apa Media.

Welcome Back!

Sign In with Facebook
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Sign Up with Facebook
OR

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist