Lhokseumawe, BisaApa.id | Komite Pimpinan Wilayah (KPW) Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat (SMUR) Lhokseumawe menyatakan sikap terkait pemberian plasma oleh DPRA kepada PT Setya Agung.
Hal tersebut disampaikan Sektaris KPW SMUR Lhokseumawe- Aceh Utara Ikramullah kepada BisaApa.id pada Selasa (15/2/2022).
“Kami menyayangkan sikap DPRA yang mendukung pemberian plasma oleh PT Satya Agung, dimana sebelumnya kepada DPRA kami telah meminta untuk dilakukan pengukuran ulang, namun alih-alih itu dilakukan pihak DPRA justru mengiyakan pemberian plasma oleh pihak PT,” kata Ikram.
Sengketa lahan yang terjadi antara PT Satya Agung dengan Desa Kilometer 8, Kecamatan Simpang Keramat, Kabupaten Aceh Utara masih berbuntut panjang.
Kehadiran PT Satya Agung di Desa tersebut telah menjadikan kawasan Desa masuk kedalam HGU perusahaan.
Baca Juga: Diduga PT. Setya Angung Ingkar Janji, SMUR Berikecaman
Konflik yang terjadi antara warga dan pihak PT Setya Agung kian memanas, sehingga membuat warga menuntut kembali hak atas tanahnya. Warga merasa memiliki hak atas tanah tersebut, dibuktikan dengan peta desa dan masyarakat yang memegang sertifikat tanah yang berumur lebih tua dari pada HGU tersebut.
Pihak masyarakat telah mengadukan hal ini kepada Komisi 1, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang menangani tentang pertanahan di Aceh, namun hasilnya tidak seperti yang diharabkan masyarakat.
” Pihak DPRA turun langsung ke Desa dengan dalih meninjau lokasi setelah 2 bulan masyarakat mengadu kepada mereka. Namun masyarakat dikejutkan dengan pemberitaan yang bahwa pihak DPRA dan PT Setya Agung sudah melakukan pertemuan dan mendapatkan hasil tanpa sepengetahuan dan kesepakatan bersama warga,” ujar Ikram.
KPW SMUR Lhokseumawe- Aceh Utara mengeluarkan pernyataan sikap yang bahwa, masyarakat Kilometer 8 tetap pada pendirian pertama yaitu HGU Milik PT Setya Agung harus dilakukan pengukuran ulang, dikarenakan masyarakat merasa masih memiliki hak atas tanahnya.
“Kami menyayangkan statement dari pihak PT Satya Agung yang menyebutkan bahwa plasma adalah salah satu jalan terakhir, yang artinya ketika masyarakat menerima plasma, pengukuran tidak dilakukan lagi, padahal seperti yang kita ketahui bahwa plasma tersebut merupakan suatu kewajiban bagi perusahaan yang seharusnya direalisasikan untuk masyarakat bukan malah dijadikan sebagai suatu langkah penyelesaian konflik lahan.” tegas Ikram.
Baca Juga: SMUR Nilai Pemerintah Gagal Jalankan Proyek Multiyears Pembangunan Jalan Peureulak-Lokop
Mahasiswa juga menyayangkan pernyataan dari Komisi 1, DPRA yang mengatakan bahwa pihak masyarakat perlu edukasi agar paham manfaat menjalin kerjasama dengan Perusahaan dan juga dukungan DPRA terhadap realisasi plasma.
“Mereka juga mengatakan bahwa ketika plasma hadir pengukuran ulang tidak perlu dilak lagi, ini menunjukkan bahwa DPRA tidak mengetahui peraturan yang berlaku, padahal dalam Permentan Nomor 26 Tahun 2007 telah mengatur khusus tentang kewajiban perusahaan melakukan plasma 20% dari total izin HGU yang dimiliki. Dan untuk dapat menjalankan plasma harus memiliki batas-batas HGU yang jelas.” jelasnya.
Lebih lanjut dikatakan Ikram, ” Kasus ini sudah sangat berlarut-larut dan Masyarakat Desa Kilometer 8 telah melakukan beberapa langkah untuk penyelesaian kasus ini, tetapi sampai sekarang belum ada kejelasan meski setelah pengaduan.” pungkas Ikram.
Discussion about this post